Mengapa saya merasa harus banget menulis tentang AADC 2?
(yaela pake saya)
Bukan review beneran sih, saya cuma merasa sangat emotionally invested dengan film ini. Saat para ~~generasi millenial~~ berbondong-bondong menyaksikan film pertamanya di bioskop, saya baca aja belom becus. Saya mengenal AADC dari pemutarannya di TV yang hanya terjadi setahun sekali di setiap libur lebaran. Itupun tanpa pernah melihat adegan ciuman bandara yang legendaris karena selalu kena sensor stasiun TV.
Saya baru melihat adegan ciuman itu semalam sebelum menonton AADC 2. Nonton di yutub dulu biar nyambung. Tak disangka-sangka, saya menangis. Lebih parah dari waktu mutusin mantan. Sampe sesenggukan, dan kalau nggak ditabok adik saya, udah kejer. Jujur, saya memang baper dari sananya, tapi sudah lama saya gak merasa seterikat itu sama suatu film.
Kenapa orang bisa nangis nonton AADC?
Plotnya klise: cewek hits penasaran sama cowok misterius. Awalnya berantem, lama-lama suka. Ya udah, gitu doang.
Kekuatan AADC terletak pada storytelling-nya. Bagaimana cara meyakinkan penonton kalau Rangga dan Cinta itu bener-bener sayang banget satu sama lain, padahal mereka baru kenal sebentar? Dari gestur-gestur kecil khas orang jatuh cinta yang ditonjolkan sepanjang film. Yang klise tapi ngena itu lirik-lirikan; Rangga liat Cinta, Cinta-nya nggak liat, tapi begitu Rangga berpaling, Cinta-nya yang ngeliatin dia. Senyum-senyum simpul manusia mabuk kepayang. Tatapan mata mereka terang-benderang bagaikan lampu neon Las Vegas ngajak kawin. Gerakan-gerakan kecil ini lebih merasuk dibandingkan pernyataan cinta gamblang yang hanya terjadi dua kali di akhir film: pas Cinta dikonfrontasi gengnya, dan adegan bandara.
Dari sisi emosional, AADC juga kuat banget. Relatable, dengan kadar fantasi yang cukup. Saya rasa orang-orang yang pernah terpaksa memendam cinta atau membuangnya jauh-jauh sebelum diri rela pasti akan lebih terikat dengan film ini. Namun, penonton juga ikut diajak berkhayal mengejar cowok misterius yang suka baca puisi. Dikejar-kejar sampe bandara pula. Anjir. Di SMA saya pengen banget bisa deketin cowok yang suka baca dan pandai menulis, tapi karena takdir tak mengizinkan, saya cuma bisa nangisin AADC aja udah cukup.
Apakah AADC 2 memiliki rasa yang sama?
(Mild spoiler untuk film AADC 2. Tapi ya kali belom nonton.)
Formula andalan AADC 2 yang sesungguhnya adalah kejutan dan nostalgia. Keduanya berjalan secara beriringan. Riri Riza tak menumpahkan semua informasi secara langsung, tapi menuangkan ceritanya sedikit-sedikit. Pada awalnya, penonton sama sekali tak tahu tentang keadaan Cinta, teman-temannya, maupun Rangga pada masa kini, namun seiring dengan kemajuan cerita, penonton merasakannya sendiri. Ini juga dibantu dengan materi promosi AADC yang minim dan hampir tak menjelaskan apa-apa tentang plot cerita. Meskipun harus mengejar empat belas tahun ketertinggalan, tak ada rasa too much going on yang biasanya ada ketika menonton film sekuel yang jarak waktunya jauh.
Paralel antara film ini dan pendahulunya juga tak urung membuat saya senyum-senyum sendiri. Mamet masih mengantarkan geng Cinta ke bandara. Interaksi antar Cinta dan teman-temannya yang masih sama asyiknya dengan dulu, bahkan menurut saya karakter mereka jauh lebih tergambar di film ini. Waktu Cinta menghapus lipstik sebelum ia bertemu Rangga juga ngena banget–seakan setelah sembilan tahun mereka berpisah, hubungan Cinta dan Rangga kembali ke titik nol. Mereka kembali berusaha mengenali satu sama lain; jelas-jelas masih saling cinta, tapi dengan segala gengsi yang ternyata masih ada, dan kehidupan orang dewasa yang taruhannya lebih besar.
Hal lain yang membuat film ini terasa dekat dengan penonton adalah pilihan lokasi liburan di Jogja, bukannya liburan di negara asing seperti tren yang sempat terjadi tahun lalu. Penggambaran Jogja sebagai kota perpaduan seni kontemporer dan tradisional yang hidup bisa menjadi ajang promosi wisata, buktinya paket-paket tour AADC 2 mulai bermunculan. Ditambah lagi geng Cinta yang kelihatanya benar-benar menikmati liburan mereka, saya yakin suasana pada saat syuting memang menyenangkan.
Bukan berarti AADC 2 tanpa cela.
Kekurangan film ini tampak lebih jelas saat menonton yang kedua kalinya. Semua kejutan tak lagi mengejutkan. Kadang-kadang dialog antara Rangga dan Cinta terkesan terlalu baku dan kurang natural. Ngerti sih kalau kalian ini pasangan pujangga yang dirundung rindu, tapi gak gitu juga. Rasanya, tone film ini menurun justru di third act-nya setelah Jogja berlalu, plotnya beralih jadi klise dan mudah ditebak. Aduh, apalagi endingnya, gimana ya.
Tetapi, setelah semua kejutan dan pernak-pernik terkelupas di penayangan kedua, ada kesan-kesan masih melekat yang membuat apresiasi saya terhadap film ini meningkat, dan memutuskan untuk mengulas film ini.
Storytelling, misalnya, menurut saya yang paling kuat adalah bagian Rangga di New York. Meskipun paling sedikit porsinya, Rangga mengantarkan penonton ke dunia yang sama sekali lain dari kebersamaan Cinta dan teman-temannya yang hangat. New York seperti pengasingan baginya, tapi pada saat yang sama, seakan Rangga adalah bagian tak terpisahkan dari kota itu. Kamera shaky, seperti suasana hatinya yang sedang kemelut. Ia selalu tampak sendirian meskipun berinteraksi dengan orang-orang. Akting Nicholas Saputra yang kini jauh lebih matang juga mendukung, tanpa harus berkata-kata, semua gundahnya tertulis di wajahnya. Puisi Aan Mansyur seperti pita pemanis yang membungkus bagian kecil ini dengan rapi. Ya, Aan. Yang kamu lakukan pada saya itu jahat.
Tidak ada New York hari ini.
Tidak ada New York kemarin.
Aku sendiri dan tidak berada di sini.
Semua orang adalah orang lain.
Merinding, merinding, aku merinding.
Satu hal lagi yang membuat saya jatuh cinta adalah pertemuan pertama Rangga dan Cinta di pameran Eko Nugroho. Perubahan suasana yang drastis membuat saya kagum. Ada rahasia besar yang tak terlihat dalam diri mereka. This is it, this is it. Selain itu, musik arahan Melly Goeslaw dan Anto Hoed mewarnai suasana dengan takaran yang tepat. Masih ada rasa-rasa nostalgia AADC pertama, tapi kali ini lebih gelap.
Film ini melampaui ekspektasi saya saat pertama kali menonton. Di bayangan saya, AADC 2 sebatas reuni hura-hura yang plotnya gitu-gitu aja. Kenyataannya lebih dalam dari itu. Film ini adalah kerinduan yang menyisa; keinginan untuk bersatu dengan cinta lama, kompleksnya perasaan yang tak terselesaikan… berkedok reuni hura-hura. Plotnya memang gitu-gitu aja. Tapi keberhasilan mengembangkan cerita yang utuh dan menyentuh dari plot yang “gitu-gitu aja” adalah sesuatu yang layak diapresiasi.