2016-05-23 08.36.50 1.jpg
Foto yang gak nyambung sama teksnya, biar kekinian.

Tercetus begitu saja. Entah kenapa.

Mungkin karena MC prom night yang menanyakan pertanyaan klasik sedunia kepada anak yang memenangkan penghargaan Terbaper malam itu: “Kuliah di mana?” Setelah dijawab, disusul satu pertanyaan lagi, “jurusan apa?”

(Belakangan, saya juga memenangkan penghargaan Ter Suka Tidur dan disuruh maju ke depan. Tapi itu lain cerita.)

Tapi saat itu, saya sedang menyantap ronde kedua potato cheese dengan damai berkat lokasi duduk strategis kami di dekat area makanan. Timbul pertanyaan, “Kenapa ya, anak-anak angkatan kita gak ada yang masuk FIB? Sastra, gitu?”

Teman-teman saya, yang tampak lebih kinclong dari biasanya dengan gincu dan gaun mereka yang kelap-kelip kalo kena lampu HP, langsung tersenyum. Jenis senyuman yang terbit ketika mendengar teman sekelas Anda mencetus “Apaan tuh, seratus ribu dipake buat makan di Pepper Lunch aja gak bisa.”

“Karena… mereka punya orang tua, Din.”

“Kalo mereka ngambil sastra, orang tua mereka udah siap pegang Kartu Keluarga di tangan kiri, tip-ex di tangan kanan.”

Diam-diam saya membayangkan diri jadi mereka. Betapa orang tua mereka akan berharap bisa men-tip-ex eksistensi manusia setelah si anak mengumumkan ingin masuk jurusan Filsafat.

Baru sadar, saya termasuk beruntung karena memiliki orang tua hippie yang mendukung jurusan apapun yang saya inginkan. Ibu saya bilang, jurusan apapun yang kita pilih, lapangan pekerjaan akan selalu ada. Sementara ayah saya bermain di level yang lebih tinggi: “Emangnya, kamu harus kerja?”

Sejak awal kelas 12, pilihan jurusan saya selalu berubah-ubah. Awalnya mau psikologi. Alasan pertama karena merasa harus memilih jurusan yang ((berilmu)), kedua karena ingin mencari pembenaran atas kondisi mental yang rasanya gak pernah beres. Ibu saya memandang keputusan ini sebelah mata, karena menurutnya berurusan dengan kondisi psikis manusia seperti keasyikan membongkar kereta mainan untuk mengetahui caranya bekerja, lalu kebingungan dan tanpa sadar berakhir mempreteli isi kepala sendiri. Sampai sekarang korelasinya belum ketemu. Sama seperti korelasi antara Memilih Jurusan Filsafat dan Masuk Neraka. Meskipun tidak memegang tip-ex, kata-kata Ibunda sungguh meresahkan. Saya bersedia melihat kemungkinan di jurusan-jurusan lain. Hingga akhirnya mengalami sendiri fenomena galau jurusan yang tadinya saya kira hanya semacam urban legend kekinian.

Komunikasi sepertinya cocok dengan minat saya di bidang jurnalistik, film, dan tulis-menulis. Tapi entah kenapa rasanya ada kepingan yang tak lengkap. Tentu hal ini akan ditolak mentah-mentah oleh anak-anak Komunikasi, tapi di kepala saya jurusan Komunikasi hanya akan melulu belajar public speaking. Aduh, gimana ya. Saya bukan orang paling komunikatif yang akan Anda kenal. Bawel, mungkin, tapi itupun hanya pepesan kosong. Yang lebih sering adalah saya puasa ngomong atau berkomunikasi dalam wujud spam like Receh Bukan Jayus dan sticker Kemono My House. Saat merenungi hal ini, timbul kesadaran bahwa bidang-bidang yang saya minati semuanya berhubungan dengan komunikasi.

Mendadak saya panik. Tanpa diminta, benak saya memutar ulang ingatan tangan yang gemetar saat mengajukan diri bicara di kelas untuk membela Jokowi. Saat harus mengarahkan belasan anak kelas sepuluh yang menjadi figuran di film saya dan hanya didengarkan sambil lalu. Rasanya pengen disintegrasi. Gara-gara ini, berhari-hari saya mengutuk diri sendiri, sampai hilang selera untuk menonton film. Manusia kalau tak becus komunikasi baiknya jadi kentang saja.

Dikuasai inferiority complex, akhirnya saya kembali ke Sastra Inggris. Sejak kecil, mimpi saya adalah kuliah di bidang sastra. Menurut logika yang baru segitu adanya, suka baca = masuk Sastra. Kenapa Inggris? Karena saya kehabisan akal. Kini manusia dikepung bahasa Inggris. Anak Melayu lebih fasih angst-venting daripada bergalau. Subtitle Indonesia tak ada lagi yang menghiraukan. Menulis dalam bahasa Inggris membuat dada busung, merasa bangga sekali membayangkan review Letterboxd saya bakal dibaca orang bule gabut puluhan ribu kilometer di luar sana.

Untuk menentukan urutan SNMPTN, saya memerlukan waktu seminggu lebih. Rata-rata teman-teman saya langsung memasukkan data. Sementara saya, yang percaya bahwa penundaan adalah bentuk seni, membiarkan formulir online itu membusuk di ruang antara maya sambil mengevaluasi pilihan hidup yang telah saya buat selama tujuh belas tahun terakhir.

Saat itulah saya menyadari… three fundamental truths at the exact same time~~~~

  1. Dengan nilai Bahasa Inggris saya yang hampir selalu sembilan tiap tahunnya, Sastra Inggris pasti tembus. Apalagi dengan teman seangkatan yang semuanya budak tip-ex, tak ada yang minat masuk FIB. Saya merasa pantas disambit atas kesombongan ini, tapi begitulah adanya.
  2. Saya belum betul-betul yakin mau masuk Sastra Inggris. Awalnya Filsafat ada di pilihan kedua. Mendadak otak mencipta jeda tanpa diminta… anjir, kuliah Filsafat kayak gimana ya?
  3. Pengakuan: jargon “stable job” yang dielu-elukan semua orang mendorong saya main aman. Suka sastra + jaminan kerja menjadi penerjemah atau wartawan Jakarta Post sepertinya pilihan tepat. Ah, sial. Jika saya memilih Sastra Inggris, saya bisa menyesal tidak memilih Filsafat, jurusan misterius yang gak jelas belajarnya apa. Ini… menarik! Kalau tidak, saya bisa mati penasaran!

Nama saya patut di-tip-ex dari daftar Camaba Filsafat Suatu Universitas 2016 karena yang nomor 3 gak ada logis-logisnya sama sekali. Guru BTA yang jurusan Sasindo aja masih ikut matkul Filsafat. Kursus dan bacaan filsafat di internet juga banyak. Tapi kebodohan di detik-detik terakhir itu telah mengantarkan saya ke posisi ini: akhirnya melungsurkan buku-buku latihan SBMPTN kepada Lat karena dia lebih membutuhkannya, dan menyalurkan stres dan engsayeti saya ke hal-hal lain yang lebih bermanfaat untuk dipusingin. Yang paling penting, saya tidak jadi mati sebelum waktunya. Terkadang hidup memberi kejutan-kejutan kecil dengan caranya sendiri.

Reaksi orang-orang pun tak kalah menarik.

Para kenalan yang hanya pengen basa-basi cukup menimpali: “Wah, keren.”

Kebanyakan tante-tante (dan, entah mengapa, dua teman sebaya dan satu sepupu yang kebetulan semuanya laki-laki) cukup perhitungan: “Nanti kerjanya ngapain?”

“Kayak Dian Sastro, dong!” – Kakak BTA, kalo gak salah.

Teman-teman yang konservatif reaksinya tertebak: “Wah, hati-hati ya. Hehehehe.”

Yang saya syukuri, orang-orang terdekat saya girang banget. Salah satu teman nista di sekolah bilang saya bisa jadi konsultan terus dapet duit banyak. Iya. Ibu bangga karena bisa mendirikan dinasti turun-temurun di Universitas Itu dan mendapatkan bahan pamer untuk beberapa bulan ke depan. Sementara Bapak bangga karena dinasti hipster-nya berlanjut. Eyang bilang ini pilihan yang cocok, karena saya doyan bengong.

Saya masih merasa diri saya bego. Kebegoan inheren yang terus menelurkan insiden-insiden bego selama masa pendaftaran camaba yang gak tahu kapan berakhirnya. Namun untuk saat ini, biarkanlah saya merasa pintar. Paling tidak, saya satu jurusan dengan Eka Kurniawan.

2 thoughts on “Perihal Tip-Ex

Leave a Reply

Your email address will not be published.