Kayaknya gue harus banget nulis tentang IEP setelah heboh berwara-wiri tentang buku ini selama seminggu. Sesuatu yang harusnya nggak gue lakukan berhubung minggu ini gue ujian sekolah, tapi apalah daya manusia rendah seperti gue menghadapi godaan duniawi. Meskipun baru mengenal saga ini sejak dua tahun lalu, berat rasanya harus berpisah dengan dunia Supernova yang membuka mata. Namun pada saat yang sama, keputusan Dee untuk mengakhiri perjalanan Diva, Bodhi, Elektra, Zarah, dan Alfa di titik ini memang tepat.
Gue baru mulai baca Supernova sekitar dua tahun lalu, sesuai dengan kronologi aslinya. Gue jatuh cinta dengan ide di balik Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh; bahwa segalanya di bumi ini berhubungan, dan kita akan sampai pada titik di mana manusia mengalami evolusi kesadaran. Tapi jujur, gue gak begitu suka caranya memasukkan unsur ilmiah di antara narasi yang rasanya sedikit maksa. Terlalu banyak catatan kaki yang sebenarnya tak perlu (sepertinya orang nggak perlu lagi diingatkan apa itu order and chaos atau serotonin, yha, meskipun gak ngerti-ngerti amat serotonin itu apa, gak begitu penting juga sih). Tapi KPBJ tetap menyenangkan untuk dibaca–karakternya bersinar, and that ending though. Gue udah pernah review di sini.
Tapi, buku favorit gue tetap Petir dan Partikel. Keduanya berbeda jauh dalam segi narasi maupun plot: Petir dengan ukurannya yang mini memuat usaha Elektra si anak sebatang kara untuk bertahan hidup, dan akhirnya dia buka warnet. Udah gitu doang. Beda dengan Partikel yang tebal, penuh dengan melodrama daddy issues-nya Zarah, yang kemudian berusaha melarikan diri dari kenyataan dengan petualangannya sebagai fotografer alam liar. Kesamaan di antara mereka hanyalah Zarah dan Elektra sama-sama sebatang kara, dan mereka berdua menemukan keluarga nonbiologis untuk menutupi lubang di hati mereka. Tentu saja gue heboh waktu baca suatu adegan di IEP dimana Zarah dan Elektra bertemu, kemudian Elektra seperti menatap Zarah dengan berbinar-binar seperti kouhai minta dinotis senpai.
Petir is simply fun. Gue udah baca buku ini tiga kali, mungkin sepuluh kali kalau buku ini bukan pinjeman. Suara Elektra yang renyah dan kekanakan membuat buku ini paling ringan di antara yang lainnya. Dan paling enak untuk dibaca, soalnya Elektra menceritakan segalanya tanpa pretensi; nggak ragu mengumbar kebegoannya sendiri yang pake acara ngirim CV ke alam kubur, atau kegemarannya yang absurd terhadap sesosok hewan kambing. Meskipun terdengar sederhana, character development-nya solid abis. Elektra, dari seorang anak bontot yang tertutup bayang-bayang kakaknya lambat-laun belajar menikmati sinar panggung untuk dirinya sendiri. Mengutip Elektra sendiri: evolusinya dari anak sebatang kara menjadi anak komunitas. Gue membaca buku ini saat sedang bergelut dengan transisi gue dari SMP ke SMA yang tak habis-habisnya, dan ada satu lagi kutipan yang bikin gue relate sama sang tokoh utama kita.
Ternyata hidup tidak membiarkan satu orang pun lolos untuk cuma jadi penonton. Semua harus mencicipi ombak.
Memang mudah banget untuk merasa dekat dengan buku ini. Ketika buku-buku lain mengambil setting di tempat-tempat eksotis seperti London, New York, dan Thailand, Petir cukup duduk bersila di Bandung Raya, bergelimang cilok, main Counter Strike di warnet terdekat. Anak-anak warnet sebatang kara tentu tahu rasanya jadi Elektra pra-Elektra Pop, yang sehari-hari cuma nongkrong di warnet dan bertahan hidup hanya dengan indomie dan telor. Satu hal lagi yang gue suka adalah sense of community yang hadir di antara anak-anak Elektra Pop yang membuat hati gue hangat, dan tentu saja, MPREEEETTTT. Dari awal dia diperkenalkan aja gue udah sayang. Tergambar jelas Mpret dengan segala dimensinya–seorang businessman, hacker jalanan, pemikir sejati, pentolan anak warnet, dan teman yang setia. Haduh, haduh. Begitu mudahnya gue jatuh cinta dengan karakter rapuh yang menutup dirinya dengan segala benteng ketidakpedulian dan penampilan acak-acakan. Kalau Petir bakal dijadiin film, pokoknya Donny Alamsyah harus jadi Mpret, itu harga mati.
Kemudian, Partikel. Perjalanan Zarah sebagai seorang perempuan mungkin bisa disandingkan dengan Nadira-nya Leila Chudori: utuh dari awal sampai akhir, sehingga kita bener-bener bisa melihat perkembangannya, how far they’ve come. Zarah dibesarkan secara tak konvensional oleh ayahnya, yang kemudian menghilang secara misterius. Hal ini membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang pemberontak dan nonkonformis. Keluarganya yang religius menjadi kotak yang terlalu sempit untuknya, sehingga ia tumbuh dewasa selalu melarikan diri dari dukanya dan mengunci sebagian dirinya dari orang lain. Eh bentar, MIRIP BANGET SAMA MPRET.
But anyway, berbagai emosi yang dialami Zarah membuat Partikel rentan sekali dibaca oleh orang baper. Karakter Zarah yang mandiri-tapi-rapuh ini sebenernya tipikal heroine modern banget. Pola serupa tampak di karakter Katniss Everdeen dan Tris Prior, yang membuat Partikel terancam bahaya laten plot klise. Gue pribadi nggak merasa plotnya jadi basi meskipun banyak formula dramatis yang sering dipakai. Kembali lagi ke teknik storytelling Dee yang membuat pembaca merasa terserap ke dalam cerita, mengalir tanpa ganjalan. Tambahan lagi, bisa keliling dunia karena bakat fotografi itu kayak mimpi jadi kenyataan. Yang gue sayangkan hanyalah karakter Zarah yang sebenarnya punya banyak potensi tak dapat kesempatan untuk bersinar di buku terakhir, tapi malah dihabiskan untuk subplot romance.
Dan sekarang, Inteligensi Embun Pagi
BATAS SUCI SPOILER SUPERNOVA KPBJ SAMPAI GELOMBANG. DIMOHON UNTUK MELEPAS ALAS KAKI ATAU PERGI KE TOKO BUKU TERDEKAT DAN MARATON BACA LIMA BUKU SEBELUMNYA.
Ada kalimat Bu Sati di buku Petir yang kurang lebih mengatakan bahwa setiap manusia sebenarnya sudah memilih perannya masing-masing sebelum mereka turun ke bumi, namun mereka sengaja dibuat lupa agar perjalanannya mencari jati diri mereka menjadi berarti. Setelah baca IEP gue baca Petir kembali demi mengenang kehangatan Mpretra, dan gue baru nyadar ada kalimat itu, rasanya pengen lempar buku, tapi langsung mengurungkan niat ketika ingat itu buku pinjeman.
Ini mah foreshadowing berat.
Anyway, recap sebentar dari buku-buku sebelumnya: buku Gelombang adalah awal dari terungkapnya misteri Supernova, kenapa hal-hal tak masuk akal sepanjang serial ini terus terjadi. Kunjungan Alfa ke Dr. Kalden membeberkan perang abadi antara Infiltran-Peretas dan Sarvara. Infiltran sebagai pihak yang menginginkan perubahan–evolusi kesadaran, dan kebebasan untuk semua orang mengetahui asal-usul mereka. Peretas, sukarelawan yang bersedia menghapus ingatan mereka berkali-kali dalam kehidupan yang berbeda sebelum turun ke Bumi dan bersama Peretas bekerja sama menembus pertahanan Sarvara. Sementara, Sarvara adalah para penjaga batas antara Bumi yang fisik dengan alam spiritual yang lebih luas, menghambat terjadinya perubahan.
Inteligensi Embun Pagi adalah simpul yang menyatukan semuanya jadi utuh. Dalam buku ini, karakter-karakter utama dari tiap buku berkumpul bersama. Dinamika yang terjadi mirip seperti ketika superhero berkumpul jadi satu tim–mereka semacam Avengers spiritual. Kekuatan mereka lambat laun bertambah, seiring dengan bertambahnya memori mereka.
Soal plot, tidak banyak yang bisa diceritakan. Atau justru terlalu banyak. Banyak misteri-misteri dari buku sebelumnya terjawab juga di sini, ditambah lagi plot twist dan penyingkapan yang bertubi-tubi. Tokoh-tokoh minor yang muncul di buku sebelumnya ternyata memiliki peran yang tak disangka-sangka di sini. Konsisten dengan tema jaring laba-laba-nya, banyak karakter yang punya hubungan tak disangka-sangka dengan karakter lainnya, literally everything is connected. Banyak dinamika tokoh yang berubah, timbulnya perasaan baru ketika menghadapi manusia masa lalu mereka dalam peran yang berbeda; dan timbulnya OTP baru. (ALFA-BODHIIIIII)
Dee tak kehilangan daya tarik storytellingnya di buku ini. Cerita mengalir dengan lancar, pembaca akan terus membuka halaman selanjutnya tanpa ingat waktu dan tahu-tahu bukunya udah selesai aja. Seperti perjalanan dalam kecepatan cahaya–begitu banyak dalam waktu yang singkat. Di buku ini pembaca bisa memuaskan kerinduan, kembali bersua dengan dialog-dialog karakter yang berwarna, namun tetap realistis. Dialog yang cerdas dan menyentil adalah salah satu hal yang paling gue suka dari cerita-cerita Dee. Buku-buku sebelumnya punya warna yang sama dari awal sampai akhir, karena hanya dilihat dari satu narator: sepasang mata, dan satu mulut untuk menceritakan. Narasinya pun khas banget, membuat pembaca jadi merasa dekat dengan suka-duka karakter tersebut. Meskipun terjadi perpindahan sudut pandang dari orang pertama di buku-buku sebelumnya menjadi orang ketiga, baik dialog dan narasi tak kehilangan ketajamannya. Malahan, di saat pembaca sudah bingung karena kebanyakan karakter berbagi panggung, Dee masih tetap konsisten menurunkan wahyunya dengan suara karakter yang khas, dan semuanya berbeda-beda.
Banyak adegan visual yang luar biasa, melibatkan garis-garis bersinar dan simpul-simpul yang hanya bisa dilihat Bodhi sebagai bagian dari pengelihatannya yang menajam. Ini unsur khas serial Supernova yang membutuhkan imajinasi luar biasa: mulai dari Partikel dengan Bukit Jambul-nya, makhluk dimensi lain, dan pengalaman psychedelic Zarah dengan eboga; kemudian ada juga penggambaran Antarabhava dan Asko di Gelombang. Selain kemampuan imajinasi Dee, hal ini juga meningkatkan kecurigaan gue akan relasi sang penulis dengan zat-zat halusinogen–teori yang dikembangkan bersama teman gue saat kita heboh mendiskusikan serial ini. Susah banget membayangkan ini semua tanpa ada pemicu. Hmmmmm.
Kekurangan yang mau tak mau harus dibayar di finale ini adalah sesak yang terasa sepanjang cerita. Karena ya, itu, scope cerita luas dari lima buku sebelumnya harus dirangkum menjadi satu. Menghadirkan banyak karakter yang terlibat kejadian berbeda-beda, membuat pembaca yang kurang fokus jadi ketinggalan alur. Dan, gak bohong, BANYAK banget pertanyaan yang rasanya belum terjawab. Soal Firas dan makhluk dimensi lain yang ia temukan, dan juga soal gugus sebelah yang nasib kedepannya masih tidak jelas.
Tapi, tetap saja menurut gue serial Supernova ini luar biasa. Boleh dibilang revolusioner di dunia sastra Indonesia. Buku yang berusaha menjawab pertanyaan mengenai eksistensi kita sudah banyak. Buku yang mencoba menggabungkan roman dengan spiritualisme juga ada: serial Bilangan Fu contohnya. Namun gaya penceritaan Supernova lebih ringan dari Bilangan Fu; memasukkan unsur sehari-hari membuatnya lebih manusiawi dan mudah bagi orang-orang untuk relate dengan karakter-karakternya. Pembacanya pun beragam–dari anak-anak muda yang biasa baca teen-lit sampai penikmat sastra berat, dari yang mencari hiburan baru sampai mereka yang mencari bahan mikir, sehingga, ya, Supernova meledak. Antusiasme pembaca di genre ini merupakan sesuatu yang baru. Di antara mereka yang mengantri untuk buku-buku komedi self-deprecating dan mereka yang mengantri untuk buku-buku religi-inspirasional, Supernova hadir sebagai fenomena yang jarang di buku-buku Indonesia, yang sayang sekali harus berakhir di sini.