Sulit untuk menjelaskan premis Okja tanpa membuatnya terdengar seperti film yang sama sekali berbeda, tapi mari kita coba (lagi). Sebuah perusahaan yang dikepalai oleh Tilda Swinton mengklaim mereka menemukan jenis hewan baru, sesosok babi super ramah lingkungan. Mereka mengirim sejumlah babi tersebut ke peternak di seluruh dunia, dan menciptakan sayembara bagi peternak yang bisa membesarkan babi paling sehat sepuluh tahun kemudian. Tentu saja babi yang namanya dijadikan judul film ini lah yang meraih predikat tersebut. Mija, cucu peternak yang ikut tumbuh besar bersama Okja tidak rela melepaskan sahabatnya ke tangan para kapitalis. Ia pun memulai perjalanan nekat untuk mendapatkan Okja kembali.
Berbarengan dengan Mija, sebuah kelompok pecinta hewan yang menamakan diri mereka ALF (Animal Liberation Front) turut mengejar Okja, tapi dengan alasan yang berbeda. Mereka berniat membongkar kebusukan perusahaan tersebut di balik citra baiknya.
Pertama, gue pengen ngomentarin cast ensemble-nya yang menyenangkan. Denger Tilda Swinton sama Jake Gyllenhaal aja udah pasti pengen nonton. Banyak aktor dan aktris yang ga terduga tapi boleh banget kayak Lily Collins, STEVEN YEUN, dan Paul Dano (more on that later!!). Bahkan Devon Bostick yang dulu gue naksir banget pas Diary of A Wimpy Kid tahu-tahu muncul padahal doi ga pernah muncul di mana-mana lagi sekarang. Seo-Hyun Ahn, pemeran Mija, meskipun pendatang baru tapi peranannya mampu menampilkan emosi yang nyata di layar.
Dapat dibukukan di bawah kategori Konspirasi yang Akan Mengejutkan Anda, gue mafhum melihat nama Jon Ronson sebagai penulis skrip film ini bersama dengan Bong Joon-Ho. Waktu kelas 12 gue pernah minjem buku The Psychopath Test punya teman—selain karena sampulnya bagus, saat itu gue masih tertarik psikologi. Itu bukan jenis buku yang biasa gue baca, namun Jon Ronson dapat membuat penyelidikan konspirasi di balik konsep “psikopat” menjadi lebih menarik dengan humor absurdnya. Unsur konspirasi kental banget di film ini, apalagi di adegan akhir saat Mija masuk ke rumah jagal. Ketertarikan Ronson terhadap humor deadpan dan penempatan tokoh-tokoh nyaris fiksional dalam karyanya juga tampak dalam karakterisasi film ini. Lucy Mirando (Tilda Swinton), CEO yang berusaha mengkonstruksi keriangan janggal dengan dekorasi serba pink untuk menutupi kerapuhan dirinya. Johnny Wilcox (Jake Gyllenhaal) pemandu acara TV petualangan hewan yang kini sudah tidak laku dan baper karenanya. Ada pula geng ALF yang tampangnya kayak maling namun sebenarnya maling hatimu. Waduh.
Elemen-elemen chaotic ini hanya berhasil karena dipadu dengan apik oleh Bong Joon-Ho. Oke, di sini gue berisiko sok tau karena belum pernah nonton film arahan beliau yang lainnya. Tapi gue yakin siapa pun bisa merasakan keterpaduan ini. Bong Joon-Ho memproyeksikan kenyataan dengan caranya sendiri, seolah bola dunia dimiringkan nol koma sekian derajat untuk mengizinkan dosis absurdisme yang lebih besar. Mulai dari keteraturan kota Seoul sebelum diobrak-abrik Mija dan kawan-kawan; usaha para anak buah Tilda Swinton untuk merombak citra Mirando; sampai tingkah-polah squad ALF yang komikal. Anehnya, segala kekacauan ini masih bisa nyambung sama suasana zen di pegunungan rumah Mija yang straight out of film Ghibli. Okja yang berguling-guling manja di tengah hutan udah ga ada bedanya sama Totoro. Akulturasi antara kedua alam ini merupakan sesuatu yang belum pernah gue lihat sebelumnya, namun berhasil. Satu lagi poin penting adalah bagaimana film ini berkali-kali mengkhianati ekspektasi penonton dan keluar dari rumus yang sudah berulang kali dipakai di film-film sebelumnya.
Dalam tiga hari terakhir gue sudah menonton film ini dua kali. Gue tidak kembali karena kisah persahabatan penuh haru antara Mija dan Okja, namun karena Paul Dano dan ALF—terutama karena Paul Dano. Sebelum ini gue pernah ketemu dengan beliau di Swiss Army Man sebagai lelaki menderita yang perlahan menemukan kebahagiaan ketika melepaskan diri dari tekanan sosial. Drama abis, dan acting-wise lebih sulit daripada perannya di Okja. Namun justru itu masalahnya. Di sini dia jadi Jay, bos komplotan yang kalem namun kokoh. Dua kali karakter ini melakukan hal-hal yang tidak terduga dari yang gue pikirkan, dan itu keren banget. Ia mampu merekatkan timnya dalam situasi krisis apa pun dengan suaranya yang lembut dan sorot matanya yang surgawi. Kalo lagi Idul Adha dia disamperin secara pribadi oleh Pak Haji untuk datang dan mengelus sapi yang ajalnya sudah di pelupuk agar mereka tenang. Jay di sini nggak ganteng instan seperti Poe Dameron di The Force Awakens. Namun untuk gue yang berada dalam kegelisahan permanen di mana pun dan kapan pun, manusia seperti beliau jadi atraktif. Paul Dano tolong pegang saya. Iya Pak, tolong jemput saya kalo mati biar keluarnya gampang. Fancast: Paul Dano as malaikat Izrail.
ALF juga seru sih, keberadaan mereka membuat film ini terasa kayak heist movie but with a pig… a pig heist movie. Penampakan pertama mereka kayak teroris tapi organisasi mereka punya kode etik yang sudah berjalan 40 tahun yang melarang mereka melakukan kekerasan terhadap hewan dan sesama manusia. Secara teori terdengar mulia. Secara praktis, konyol. Bayangin aja mereka ngelawan polisi dan sekuriti tapi ga boleh pake kekerasan, kalo perlu minta maaf. Tapi dalam beberapa momen, prinsip ini justru jadi mengharukan. Mata ganti mata tidak membuat seseorang jadi lebih mulia dari lawannya. Tapi di sini ALF adalah perkumpulan yang mencoba untuk lebih baik dari orang-orang yang menggunakan kekerasan pada hewan dan itu keren. Tampak juga paralel antara ALF dengan hewan yang mereka bela, di mana hewan-hewan yang dizolimi manusia dan tidak bisa melawan. Meskipun ALF jadi comic relief yang menyenangkan, secara prinsip dan metaforis mereka leh uga. Persetan dengan Kapitan Ameriki dan Gal Gadot produk Yahudi lah~
Film ini kabarnya bikin banyak orang jadi males makan daging karena melihat kenyataan di balik industri makanan. Ya memang ~keajaiban sinema~ bercampur dengan empati yang tinggi kalo pesennya beneran nyampe. Meskipun kalo besoknya dimasakin ibu ayam goreng tetep dimakan. Ga papa sih. Entahlah, kalo gue rasanya bakal tetep makan daging dalam rangka melangsungkan rantai makanan dan sejujurnya karena saya egois. Jangan dihujat ya.
Buat gue, film ini bikin mikir betapa absurdnya menjadi orang yang bersahabat sama hewan tapi tetap makan daging. Yaa gimana yak, si Mija ini melihara Okja yang dia bela-belain kejar sampe ke New York tapi juga melihara ayam, yang kemungkinan untuk disuruh bertelur dan dipotong. Manusia boleh berargumen bahwa ayam yang mereka potong diperlakukan lebih (manusiawi? binatang-wi?) animal-friendly dibandingkan industri makanan yang digambarkan di Okja, tapi coba aja tanya sama ayamnya, memang beliau mau dibunuh untuk dimakan? Mengapa, misalnya, orang yang makan anjing dihujat, tapi orang makan steak di restoran biasa aja? Stratifikasi tak tertulis ini sebenarnya tidak masuk akal juga. Mungkin hewan-hewan domestik seperti anjing dan kucing diberi kedudukan spesial oleh manusia karena tampang mereka lucu dan “bisa dipelihara”. Tapi jika anda memelihara hewan ternak sebagai sahabat anda, akan tercipta ikatan emosional antara anda dan hewan tersebut sehingga anda takkan rela kalau hewan itu dipotong, seperti si Mija ini.
Jika anda terlahir sebagai hewan, nasib anda ditentukan oleh relasi kuasa yang anda miliki dengan manusia, bahkan terkadang anda tidak dapat melakukan apa pun untuk mengubahnya. Dan manusia-lah yang sering mengeluh bahwa hidup itu tidak adil.
Gapapa, pengen aja naro gambar ini di sini hehe~