Seusai menonton Apa Jang Kau Tjari, Palupi di Kinosaurus. “Yang di luar dijaga agar jangan sampai masuk, dan yang di dalam dijaga agar jangan sampai keluar. Pesta ini berlangsung hingga besok.” Shot terakhir, Palupi menggedor-gedor pagar, putus asa. Siapa sangka perjalanan mencari kebahagiaan bisa memerangkap seseorang sedemikian rupa? Aku tidak sempat menulis resensi lengkap dari film ini karena pada saat itu sedang berlomba dengan tenggat waktu (siapa pula yang melewatkan konser Efek Rumah Kaca karena tuntutan korporat? Mudah sekali berpura-pura ikhlas di depan orang banyak, tapi dalam hati sebenarnya masih menyesal). Tapi film ini rasanya menghantuiku. Palupi mengira ia bisa menemukan kebahagiaan dalam dunia selebriti yang artifisial, dan tidak semua orang setuju dengannya. Namun, dalam nafas yang sama kita semua adalah Palupi—dalam perjalanan mencari, dengan cara kita sendiri-sendiri.
“Apa yang kau cari?” Tidak semua orang mau mengakui apa yang mereka cari. Hakikat kebahagiaan di masa kini sedikit membingungkan, apalagi dengan budaya media sosial. Orang-orang memamerkan kebahagiaan mereka di Instagram, entah dengan niat pamer atau berbagi rasa syukur, dan memang tidak ada yang salah dengan itu. Pada saat yang sama, ada ilusi bahwa kebahagiaan itu bukan untuk “dicari”. Banyak orang yang merasa kekurangan dan tidak tahu cara mengisi lubang dalam diri mereka, makanya budaya traveling, plugging off, buku-buku self-help, dan kursus yoga sedang laris-larisnya. Usaha-usaha ini dipinggirkan dengan narasi yang seolah berkata “sudahlah, hidup tak selamanya harus mengejar kebahagiaan. Pada akhirnya toh kebahagiaan hanyalah kepalsuan. Mari kita menderita bersama-sama.” Aneh, ketika kita diharapkan sudah bahagia—atau paling tidak cukup—sejak awal, namun usaha-usaha untuk mencari kebahagiaan tersebut malah dicibir oleh mereka yang tidak suka melihat kita lebih berbahagia daripada mereka. Atau ya, tidak semua orang mampu atau tahu cara untuk berbahagia. Konflik yang menarik.
Sudahlah, aku sebenarnya tidak ambil pusing juga. Soal-menyoal ini hanya cukup menarik untuk diamati. Seorang teman pernah bertanya “kok lo kayaknya enak banget, santai aja gitu kayak gak ada beban.” Seperti komentar orang-orang pada umumnya, tentu kesan ini tidak sepenuhnya betul. Aku gampang banget stres kalau ada tekanan. Tetapi, seiring dengan waktu, semakin mudah memisahkan antara diri kita dan rupa-rupa beliung kehidupan. Semakin mudah untuk memperhatikan yang penting-penting saja. Namun pada akhirnya, mengutip Sarah Gibson yang kini udah jadi anak FH, “ingat, roda itu berputar.” Mungkin suatu hari akan datang episode breakdown yang baru perihal sepele, dan aku akan menemukan diriku terpuruk di dasar. Jika saat itu datang, mungkin aku cuma bisa pasrah dan menikmati kehampaan tersebut. Pilihan dan pencarian memang hal yang pribadi, namun memilih untuk tidak mencari juga sebuah pilihan.
Proyek iseng-iseng mendokumentasikan apa yang saya rasakan selama liburan 3 bulan menjamur, sambil menghindari kewajiban menulis yang sebenarnya. Tapi serius nih, kalau memang ada orang restorasi film yang membaca tulisan ini, tolong Apa Jang Kau Tjari, Palupi? untuk proyek restorasi film Indonesia selanjutnya. Semua orang harus bisa nonton film ini. Saya dukung!