Sesungguhnya gue lagi bete. Sudah semingguan, mungkin lebih, berlangsungnya kebetean ini. Meskipun sulit, gue akan berusaha menjelaskan penyebabnya dalam tulisan ini. Mungkin tulisan ini ujung-ujungnya hanya jadi curcol semata karena gak menyelesaikan kepelikan apa pun yang sedang dihadapi bangsa kita. Gue cuma pengen berbagi apa yang gue rasakan sekarang, kegelisahan yang mendalam di hari kesaktian pancasila.
Bayangkan diri lo dalam posisi hidup normal, tak terganggu dalam hal apa pun. Pada suatu hari, lo hidup seperti biasa. Makan, mandi, ngomong sama orang, melakukan tugas lo. Kemudian, lo melakukan sebuah kesalahan, seperti layaknya manusia biasa. Lo sendiri gak bisa mengukur apakah kesalahan itu besar atau kecil; yang pasti itu fatal, karena mendadak orang beramai-ramai menghujat lo di media sosial. Ga cuma sebatas mengomentari, namun sampai mengutuk-ngutuk, menyumpahi kematian lo, dan hal-hal lainnya yang sebenernya gak terkait sama sekali sama kesalahan yang lo perbuat: keluarga, etnis, agama lo.
Selanjutnya ya, satu hal mengarah ke hal lainnya. Kita semua menyaksikan tahun lalu, bagaimana ribuan orang bener-bener turun ke jalan dan menolak keberadaan Ahok; udah gak jelas lagi kenapa dia tidak diinginkan, entah karena kesalahannya, identitas beliau sebagai minoritas, bercampur dengan bensin-bensin politik yang membuat kasusnya lebih besar dari yang seharusnya. Alasan lo adalah membela Tuhan, tapi apakah Tuhan rela dibela dengan cara caci-maki, kekerasan, dan pemutusan tali silaturahmi yang diputuskan oleh umat-Nya? Bahkan beberapa masjid tidak bersedia untuk memandikan jemaah yang memilih Ahok. Ada banyak alasan mengapa hal tersebut tidak seharusnya terjadi, dan rasanya gue udah terlalu lelah untuk menjelaskannya lebih jauh.
Penindakan oleh pasal penistaan agama. Pasal 156 yang sebenarnya pasal karet, karena tidak menjelaskan seperti apa “penodaan” agama yang dimaksud. Sejauh apa sesuatu dapat dibilang menodakan agama dan sesuatu dapat dibilang hanya kritik belaka? Apakah hanya tergantung pendapat mayoritas, yang jauh dari berkualifikasi untuk menentukan sesuatu yang bersifat tidak duniawi? Bukankah itu tergantung pendapat Tuhan yang memiliki agama tersebut? Kalaupun memang seseorang berhak dihukum atas penistaan yang mereka lakukan, bukankah itu hak Tuhan untuk menghukum mereka, bukan sesama manusia yang tentunya juga tak luput dari kesalahan?
Ahok pun akhirnya dipenjara. Bukan karena proses peradilan yang semestinya, namun karena tekanan massa. Tak urung beberapa orang menyamakan Ahok dengan Socrates, filsuf era Yunani kuno yang dihukum mati karena menyadarkan banyak orang untuk mulai berpikir kritis, dan dianggap mengganggu kemapanan penguasa. Para pendukungnya menyatakan Ahok kalah terhormat. Lilin-lilin dinyalakan, lagu nasional dinyanyikan. Dukungan simbolik, perlawanan dalam diam.
Tapi yang benar-benar menyadarkan gue adalah hal serupa yang terjadi kepada seorang kawan. Hanya karena sebuah kesalahan, ia menjadi target amarah dari banyak orang. Mereka mengaku menghujat dalam usaha membela sesosok entitas mahaagung, namun perilaku mereka berlawanan sekali dengan apa yang mereka bela. Hal ini dibicarakan terus-menerus selama seminggu. Memang apa yang ia terima tidak sebanding dengan cobaan kepada Ahok, namun ketika lo mengenal orangnya, rasanya semua hujatan yang ditujukan kepadanya seperti disorot kaca pembesar. Semuanya jadi personal. Ada beban mental, perasaan terancam, dan pikiran-pikiran lainnya yang ga seharusnya jadi beban seseorang, apalagi dalam minggu UAS.
Pada akhirnya, semua berakhir dengan damai. Masalah selesai. Senada dengan “kekalahan terhormat” yang ditanggung Ahok. Toh beliau masih kuat, bertahan, agaknya lumayan hepi di penjara karena mulai belajar kung-fu dan tidur cukup. Tapi pada akhirnya, ada konsekuensi yang harus kita bayar bersama-sama. Ada pihak tidak bertanggung jawab yang telah merusak riwayat pribadi dan nama mereka. Progress yang diprakarsai Ahok berisiko terhambat, atau terhentikan sama sekali. Dalam level personal, mungkin pribadi seseorang yang telah terekspos caci-maki borok-borok kemanusiaan akan berubah, dalam cara apa pun. Mungkin ada luka yang takkan sembuh. Keyakinan mendalam bahwa sejatinya kemanusiaan sudah punah. Mungkin mereka juga bertambah kuat. Gue pribadi tidak suka menyebut peristiwa ini “blessing in disguise”, meskipun pernyataan tersebut ada benarnya, namun kedengaran terlalu post-factum. “Semua ada hikmahnya”, seakan-akan hanya itulah yang bisa kita lakukan. Kita tidak bisa membalas atau memenjarakan orang yang ramai-ramai menjerit “Bunuh Ahok!!!!”. Kita tidak bisa membuat orang lain berpikir sesuai dengan cara kita. Apa yang kita sebut logis dan masuk akal agaknya merupakan versi yang sama sekali berbeda dari logisnya mereka.
Terus kita bisa ngapain?
Jujur, itulah yang gue tanyakan terus-menerus.
Gue pernah membaca twit yang kurang lebih berkata “Jika yang waras selalu mengalah, dunia akan dipimpin orang gila.” Itulah yang gue rasakan sekarang. Ada pihak yang memiliki keinginan, yang sebenarnya tidak begitu masuk akal. Jika keinginan tersebut tidak diikuti, pihak tersebut akan melancarkan serangan penuh kekerasan yang membuat kita semua resah. Kita terpaksa mengalah, karena jika tidak, artinya kita cari mati, memulai perang. Kita seperti diperalat, dan tidak berdaya melawan mereka yang terus menyebarkan pesan-pesan intoleransi.
Sebenarnya gue merasa tidak ada gunanya membuat tulisan ini. Makanya gue cuma bilang ini curcol semata. Masalahnya, gue yakin yang bisa memahami inti dari tulisan ini cuma golongan orang-orang rasional yang pastinya gak bakal teriak-teriak “bunuh Ahok” di tengah jalan atau menganjing-anjingkan orang yang berbuat salah di media sosial. Tapi orang-orang yang rasional gak butuh tulisan ini. Yang butuh dibikin paham adalah orang-orang bersumbu pendek yang cepat menghakimi. Tapi kita tidak bisa membuat mereka memahami kita, karena intoleransi adalah intoleransi.
Gue merasa seperti menghadapi jalan buntu. Seperti ada yang memecahkan gelembung “aman” gue yang cuma kuliah-makan-ngerumpi-nugas-nonton film, dan kini gue merasa dikelilingi oleh ancaman terhadap rasa kemanusiaan kita. Bahkan kini, sepertinya mulut gue takkan pernah berhenti mencetuskan, “Kok orang bisa ya, sejahat itu. Gak pake mikir. Gak masuk akal.” Gue sempet pusing banget karena masalah ini, sulit untuk mencerna perbedaan drastis antara situasi ideal yang saling menghargai, kesadaran atas rasa kemanusiaan yang kolektif; dan situasi yang ada sekarang. Ketika lo belajar Logika dan jenis-jenis kesesatan pikir, lo udah punya bayangan ideal bagaimana seseorang harus bertindak; rasional, dari A ke B, B ke C, C ke D, dan asumsi bahwa mereka punya kesadaran penuh bagaimana perbuatan mereka bisa berefek ke yang lain. Di semester-semester selanjutnya gue masih akan belajar Etika, bagaimana prinsip baik dan buruk dilihat dari berbagai sudut pandang filosofis. Lah, buat apa gue belajar Logika kalo dalam kenyataan masih banyak orang yang tidak rasional maupun konsisten dalam perkataan dan perbuatan mereka? Buat apa gue belajar Etika, kalau baik dan buruk sudah kabur, dan orang akan melakukan apa pun atas dasar kebencian?
Ada titik di mana gue udah bener-bener capek sampe gue nangis karena hal ini. Nangis sambil pengen ketawa. Lucu, betapa sesuatu yang hanya bisa kita lihat di TV, baca di media sosial, dan dengar dari omongan orang bisa mempengaruhi gue segitunya. Gue tidak disakiti secara langsung dan personal, namun gue merasa disakiti. Apakah tingkat empati gue sudah setinggi itu, sehingga bisa merasa satu dengan kemanusiaan: kumpulan orang-orang yang gak gue kenal sama sekali, mereka yang terluka dan terlecehkan? Apakah keadaan kita memang seburuk itu? Apakah mungkin gue cuma orang yang baperan?
Pada saat-saat gelap seperti ini bokap gue selalu hadir. Ia bilang bahwa ada dua jalan keluar yang mungkin untuk masalah ini. Yang pertama, jangka pendek, yaitu tindakan tegas dari hukum dan otoritas; yang jujur tidak bisa kita andalkan sepenuhnya, karena lihat saja apa yang mereka lakukan kepada Ahok. Mungkin kita butuh banyak figur otoritas yang berani dan bersih seperti Ahok, karena jika beliau berdiri sendirian ia akan tumbang. Untuk bisa mencapai keadaan tersebut, butuh solusi kedua yang bersifat jangka panjang, yaitu pendidikan. Mungkin klise. Tapi jika kita menanamkan kebiasaan-kebiasaan kecil mulai dari berpikir kritis sampai kebebasan berimajinasi dan berpendapat, mungkin kita bisa memunculkan generasi-generasi yang bisa menggunakan otaknya sedikit. Paling tidak, mereka yang cukup paham untuk gak main kekerasan, hakim sendiri, mampu bertenggang rasa dan bisa berempati kepada orang lain sebagai sesama manusia.
Sumpah, gue takut. Gak cuma takut sama kondisi negara ini, dan apa yang menanti di masa depan. Gue takut gue gak berani mengambil langkah yang dibutuhkan pada waktunya, gue takut gue akan kembali kepada kenyamanan gue dan kembali menjadi mayoritas yang diam. Gue takut cuma berani ngomong doang. Tapi paling tidak gue sudah menyuarakan rasa takut gue.
Maka, selamat hari lahir Pancasila, yang telat sehari. Jika gue mau “mengambil hikmah” dari semua peristiwa belakangan, mungkin kita semua jadi lebih memaknai Pancasila kali ini sebagai sesuatu yang lebih darurat dan perlu dilindungi. Kita tidak pernah tahu makna sesuatu sampai ia direnggut dari kita, ungkapan itu memang benar dalam kasus ini. Mungkin. Semoga tidak hanya slogan atau foto editan Picsart yang dipajang di Instagram biar hits. Ga cuma foto yang dipajang di depan kelas, tak pernah disentuh sementara foto presiden di sebelahnya terus berganti. Semoga bisa bener-bener jadi sesuatu. Gue pengen banget kita semua berhenti menjaga keberagaman demi formalitas semata, namun karena kesadaran internal bahwa pada akhirnya kita semua sama-sama manusia.