Ketika 12 UFO mendatangi titik-titik acak di muka bumi, ahli linguistik Louise Banks (Amy Adams) yang sedang bergumul dengan masa lalunya, direkrut militer yang diwakili Colonel Weber (Forest Whitaker) untuk mencari tahu tujuan mereka datang ke Bumi. Bekerja dengan ilmuwan Ian Donnelly (Jeremy Renner), Louise berusaha mendekati mereka, “menyamakan frekuensi” demi kelancaran komunikasi. Karena komunikasi adala koentji. Tujuan kedatangan para makhluk tersebut akan mengubah diri Louise dan masa depan kemanusiaan.

maxresdefault.jpg

Arrival sedikit mengingatkan gue kepada Interstellar. Kedua film ini pada dasarnya merupakan catatan kasih antara orang tua dengan anaknya, yang kebetulan latarnya adalah eksplorasi luar angkasa dan the unknown. Namun perbedaan yang mencolok adalah, pada Arrival, pengembangan plot film tidak hanya dikembalikan ke resolusi emosional Love Conquers All™ . Film ini merupakan perjalanan yang mengubah hidup tokoh utama kita, namun dengan cara yang masih sesuai dengan kerangka logika dalam film. Karena merupakan perjalanan pribadi, mungkin film ini tidak menyorot banyak soal aftermath dari kedatangan para alien tersebut, beda dengan Interstellar yang masih memberi gambaran masa depan setelah eksplorasi Cooper dkk.

Arrival diangkat dari sebuah cerita pendek, The Story of Your Life oleh Ted Chiang. Gue udah sempet download dan baca, setelah nonton filmnya. Setelah nonton filmnya yang menggelegar, mungkin sudut pandang saat membaca cerita sedikit dipersempit, karena cerita pendeknya kurang memberi perhatian kepada latar suasana kekacauan global dan militer yang sedang terjadi. Tapi bagi yang memang ingin mengulik lebih dalam hubungan pribadi Louise dan penjelasan dari teori-teori linguistik dan fisika dari Arrival, cerita ini sangat direkomendasikan. Memang tidak mudah untuk memahami semua ini. Namun begitu juga dengan hidup. (lah, apaan)

arrival-movie-amy-adams (1).jpg

Sebuah wawancara dengan ahli linguistik betulan (spoilery) kurang lebih menyatakan bahwa Arrival landasan teori-nya cukup solid, meskipun hipotesis tersebut dikembangkan ke arah pengandaian yang terlalu jauh dan determinis. Tapi yha bukankah pertanyaan “what if” yang tak berakhir itulah yang menghidupkan jiwa dari suatu film? Secara keseluruhan, teori-teori linguistik yang mendasari film ini menarik banget buat gue. Ketika tim bahasa harus menyampaikan pertanyaan tujuan para alien datang ke bumi, pertanyaan itu dikupas habis menjadi inti-inti yang harus dipahami pihak alien tersebut agar bisa memahami pertanyaan itu secara keseluruhan. Gila, bahasa sebagai konsep itu sangat rumit—manusia bisa memahami begitu banyak hal sampai bisa berkonversasi verbal dan non-verbal seperti sekarang. Situasi menjadi filosofis ketika kita harus menggali, apa yang bikin kita bisa memahami sesuatu, dan bagaimana cara mentransfer pemahaman itu ke orang lain.

Pendekatan bahasa yang halus ini jarang sekali diangkat oleh film-film sci-fi bertema serupa. Mungkin itu juga yang bisa membuat Arrival lebih mudah dipahami dan relatif lebih dekat dengan penonton. Seluruh konsep film ini bergantung kepada subjek humaniora yang “melekatkan manusia dan peradaban, namun menjadi senjata pertama yang dikeluarkan dalam kondisi konflik”—kalimat yang dikutip Ian Donnelly dari pengantar buku Louise Banks. Penjejalan teori ruang-waktu dan teknologi futuristik canggih, jika tidak dieksekusi dengan baik bukan hanya membuat penonton awam kebingungan, tapi juga bosan.

57f1a3_6ee78ec56256476db4e3bee40cfaa78c-mv2.png

Dalam film-film sci-fi, teknologi umumnya digunakan dengan tujuan eksploitasi. Manusia sudah mengacaukan planet bumi, jadi, saatnya kita cari planet baru untuk dikacaukan! Oh, kita belum pernah melihat makhluk ini sebelumnya, ayo kita tangkap dalam tabung kaca lalu kita teliti. Kalau gak ya digambarkan sebaliknya—orang yang dikejar-kejar alien jahat. Sementara, bahasa dikenal sebagai cara berdiplomasi yang paling damai. Apalagi dalam situasi ini, ketika pihak manusia hanya berusaha mencoba mengetahui maksud pihak alien (paling tidak para tim ilmuwannya, sementara para petinggi militer udah ketar-ketir, dan Cina sama Rusia udah mau ngebom aja–cara paling Amerika untuk mendeskripsikan kedua negara tersebut). Dalam situasi ini manusia dan alien setara, keduanya sama-sama pihak luar yang berusaha mencari landasan yang sama, sekalipun pengetahuan dan cara berbahasa pihak alien lebih kompleks daripada manusia. Tapi kedua pihak ini saling mendekati dengan itikad yang nampaknya baik, dan secara pribadi ini membuat gue sedikit tersenyum saat menontonnya. At least this time humanity doesn’t mess up that bad. Kembali lagi kepada hakikat bahasa, yaitu konsep yang digunakan untuk membangun konsep, menjalin hubungan dan pengertian terhadap pihak lain. Topik bahasa perlu lebih banyak disorot, karena itulah yang membuat manusia semakin manusiawi.

Dalam mengulas film, emang seringnya gue lebih suka ngebahas substansi daripada bungkusan (sebenernya karena gak ngerti-ngerti amat soal teknis). Tapi bungkusan yang satu ini tidak usah diragukan lagi. Denis Villeneuve once again delivers. Seperti plotnya yang sistematis, cara berceritanya juga. Scoringnya Johann Johannsen menghadirkan dengungan-dengungan khas sci-fi dalam ketegangan yang baru. Shot demi shot sangat menyenangkan untuk ditonton. Meskipun film berlatar waktu di tengah-tengah kekalutan global terhadap berita invasi alien, kamera di tangan Bradford Young menciptakan suasana intim, nyaris romantis, melalui kamera yang tak bergerak dan warna-warna netral dalam adegan di benak Louise maupun saat ia berusaha menjalin komunikasi dengan para alien. Dan aerial shot yang itu (!!!!) mengingatkan gue kepada Sicario dan seberapa menyesalnya gue gak nonton itu filem di bioskop. Paling tidak, sekarang rasa sesal itu sedikit terobati. Sedikit.

Arrival-2016-Amy-Adams-Movie-Wallpaper-19-1920x788.jpg

Setelah agen FBI yang ikut terjun dalam penyelidikan kartel narkoba perbatasan dalam film Sicario, Villeneuve kembali menempatkan karakter perempuan dalam kendali di sebuah situasi yang asing baginya. Ada dua sisi karakter Louise Banks dalam film ini. Secara profesional, ia adalah seorang ahli linguistik yang sangat berkapasitas dalam lahan studinya, dan otomatis mempunyai aura otoritatif yang jelas. Namun segala keraguan dan kekalutannya nampak dalam jeda-jeda panjang saat ia seorang diri: pergulatannya dengan masa lalu, syok yang dirasakannya saat dicemplungkan ke dalam lingkungan kerja asing, subyek penelitian yang sangat berpengaruh terhadap dirinya secara personal, semua dialaminya dalam situasi darurat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.  Namun justru sisi personal inilah yang memberinya keberanian untuk mengambil keputusan-keputusan besar dalam waktu singkat. Kompleksitas ini harus diungkapkan tanpa banyak dialog, dan menurut gue Amy Adams sudah sangat berhasil dalam hal ini. Chemistry-nya dengan Jeremy Renner juga pas, meskipun Renner kembali dipenjarakan typecast om-om tim hore yang sedikit humoris. Tapi hal ini juga tidak berpengaruh apa-apa ke plot.

Namun, film ini mungkin tidak cocok bagi semua orang. Bukan hanya orang-orang yang keluar dari teater sambil ngomong keras-keras bahwa mereka gak ngerti filmnya, atau ekspektasi bahwa film ini akan menjadi perjalanan luar angkasa seperti Interstellar. Tidak semua orang setuju dengan pesan-pesan determinis Arrival untuk “merangkul takdir”. Penutupnya yang mungkin terkesan sedikit gantung bagi beberapa orang, karena ya pada akhirnya ini adalah perjalanan pribadi Louise yang scope-nya memang tidak begitu besar. Tapi hal-hal ini tidak menjadi masalah bagi gue.

Kekurangan pada film ini adalah kurang disampaikannya proses-proses sebelum mencapai tujuan mereka. Waktu timnya Banks ngajarin bahasa Inggris kepada para alien misalnya, dari yang dasar banget menuju pemahaman kalimat tanya yang kompleks dan multitafsir, gak ada indikator waktu berapa lama atau seberapa sulit mengajarkan mereka kata-kata tersebut. But then I would be nitpicking. Gue sangat menikmati film ini sebagai keseluruhan. Selain subyeknya luas dan masih meninggalkan ruang untuk spekulasi, Arrival digarap dengan sangat apik. Ini bukan cuma film yang digadang-gadang orang sebagai “film yang bikin mikir”, namun jika menyasar batin yang tepat, film ini bisa jadi bahan kontemplasi, memberikan kesadaran baru sebagai manusia yang hidup pada detik ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.