Esai yang ditulis untuk pameran tunggal Raras Umaratih “Melihat Dokumen-Dokumen Hitam-Putih”, 29 Februari 2020 di Forum Lenteng, Jakarta. Tulisan ini pernah diterbitkan di Sudji.id
Raras tiba di Jakarta pada hari Senin pekan lalu. Aku melihat foto dirinya sedang berpose bersama kopernya di bandara di Instagram Stories pada hari Sabtu. Hari Senin, benar saja, aku melihat wajahnya dalam post beberapa temanku. Aku tidak bisa bertemu langsung dengan dirinya, karena masih berada di luar kota. Hari Rabu, aku baru sempat ke kantor untuk mendiskusikan beberapa proyek yang akan datang, dan selama kami bertukar ide sampai otakku berasap, Raras tak nampak batang hidungnya. Saat hari beranjak gelap, ia baru melongokkan kepalanya ke ruang diskusi kami, wajahnya masih kusut dan bau bantal. Setelah itu ia menghilang lagi, dan aku tak melihatnya sampai maghrib keesokan harinya.
Mungkin Raras terbiasa menghilang, karena sudah lebih dari setahun ia menghilang ke Berlin untuk kuliah seni rupa. Sebelumnya, ia adalah kawan angkatan Mawar di kelompok belajar Milisifilem. Ia cukup dekat denganku, mungkin karena usia kami hanya terpaut setahun. Bersama “gembel-gembel Lenteng” yang lain, dulu ia menghuni sudut-sudut Forum Lenteng setiap harinya. Giat dalam diskusi-diskusi kecil dan praktik menggaris bersama para pelajar lainnya, tak terpisahkan dengan debu-debu kasur maupun tumpukan kertas-kertas yang berantakan di ruang belakang.
Akhirnya, aku menemukan Raras di garasi Otty yang difungsikan sebagai studio, masih dikelilingi tumpukan kertas yang berantakan, hanya saja kini kertas-kertas tersebut berisi sketsa-sketsa yang ia gambar selama tiga bulan terakhir. Kembali ke Forum Lenteng, rasanya kini berbeda baginya, karena dulu dia terbiasa luntang-lantung tanpa kerjaan di ruang tengah. Kini, ia harus menyelesaikan 25 lukisan berukuran A3 dalam waktu seminggu, dengan tubuh yang masih separuhnya tertinggal di Berlin, tertatih-tatih mengejar ritme hidup di garis ekuator di mana matahari terbit lebih dahulu. Konon, mabuk pascaterbang lebih sulit diatasi saat kita berpindah “maju” ke zona waktu yang lebih awal.
Menyisir sketsa-sketsa yang berserakan di meja kerjanya, kita dapat membaca amatan dan celetukan Raras akan keseharian di kota yang sudah dihuninya selama setahun itu. Sketsa-sketsa awal berbentuk diari visual, mendeskripsikan apa-apa saja yang ia lihat sehari-hari, dilengkapi dengan teks yang berfungsi menerangkan peristiwa tersebut sejelas dan serinci mungkin. Terkadang dikombinasikan dengan pengalaman lain yang masih terkait dengan gambar tersebut. Namun, kerap kali ia hanya bertindak sebagai pengamat di tepi jalan. Salah satu eksperimennya dalam mencari gaya tutur sketsa yang cocok baginya, ia hanya menggambarkan penampilan orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya.
Apa yang diketahui si Pengamat di Tepi Jalan terbatas pada penangkapan inderanya. Namun, melalui spekulasi dan imajinasi yang liar, ia bisa naik pangkat menjadi si Orang Ketiga Mahatahu. Beberapa kali, si pengamat menggunakan kata “sepertinya” dan “mungkin” dalam narasinya. Tampaknya, si pengamat cukup rendah hati untuk tidak mengklaim bahwa ia tahu benar apa yang terjadi dengan orang-orang dan objek-objek yang ia amati, namun cukup percaya diri untuk menyodorkan fiksi yang ia buat sebagai cara melihat realita yang asyik. Misalnya, sketsa orang Cina yang sedang membaca Alkitab di bus ia narasikan sebagai Yesus yang bereinkarnasi di Cina untuk memimpin gelombang penyelamatan kedua, dan membaca Alkitab bahasa Cina untuk meng-update tentang apa yang ditulis orang tentangnya selama 2000 tahun terakhir ini.
Keberanian berspekulasi tak hanya muncul dalam teks yang tertulis, namun juga dalam garis-garis yang digambar Raras. Gambar-gambarnya tidak mengklaim diri sebagai cerminan realita yang sesungguhnya, namun mereka gabungan dari amatan dan imajinasi. Mungkin, itulah kenapa garis-garis Raras suka menyeleweng dari pakem-pakem realisme, di mana garis harus diakhiri oleh garis lainnya, membentuk bidang yang solid dan permukaan yang dapat dipercaya. Dalam sketsa-sketsa ini, garis bisa dibiarkan terbuka dan menjuntai, melengkung dan miring, mengundang kemungkinan-kemungkinan baru. Terkadang, garis dan bidang yang digoreskannya malah dibuat bertabrakan satu sama lain.
Biasanya, tabrakan terjadi karena kecelakaan. Maka, dibuatlah serangkaian sistem pencegahan agar semuanya dapat terhitung, dan tabrakan tersebut tidak terjadi. Dalam seni rupa modern, ada teknik-teknik tertentu untuk membuat perspektif, komposisi, dan anatomi yang dibentuk atau digambar oleh si seniman sesuai dengan proporsi realita yang seharusnya. Sketsa yang dibuat untuk menyergap momentum cenderung tak punya waktu yang cukup untuk menerapkan sistem pencegahan kecelakaan tersebut. Garis yang bertabrakan ini bisa terjadi karena keterdesakan waktu, salah hitung, atau justru dijadikan pilihan artistik dari si seniman.
Dalam kasus Raras, pembenturan garis-garis ini jelas bukan pilihan yang tidak disengaja. Garis-garis yang berpotongan tidak pada tempatnya bukan berarti sketsa-sketsa tersebut tidak layak, namun justru menunjukkan penguasaan atas ruang di dalam bidang gambar. Ada kepercayaan diri si seniman dalam menjadikan kanvas tersebut miliknya, dan menerapkan konvensi-konvensi yang hanya berlaku di dalam dunianya, sehingga yang tercipta adalah bentuk-bentuk yang sublim. Salah satu tabrakan favoritku adalah sketsa loker-loker di Perpustakaan Postdamer, yang tampak iseng dalam mempermainkan berderet-deret loker yang teratur sejajar dan monoton ke dalam bentuk-bentuk yang simpang-siur.
Kegemaran Jerman akan keteraturan dan sistemisasi adalah poin yang menonjol, bisa jadi memesona atau justru mengganggu, bagi orang asing yang baru pertama tiba di negara tersebut. Tabrakan jenis lainnya, yaitu gegar budaya, kerap terjadi. Seseorang yang terbiasa hidup komunal dengan keseharian yang cair dapat mengalami kecanggungan ketika harus bertransisi ke dalam lingkup sosial di negara tersebut yang individual dan privat. Namun, cepat atau lambat, tubuh asing tersebut akan mampu beradaptasi.
Salah satu faktor yang memungkinkan hal ini adalah kota Berlin yang merupakan pusat terjadinya tabrakan-tabrakan kultural. Banyak mahasiswa mancanegara yang melanjutkan perguruan tinggi di kota tersebut, salah satunya karena pendidikannya yang baik dan cuma-cuma. Sejak awal dekade 2000-an, pemerintah Jerman mulai membenahi struktur yang mengatur hukum-hukum imigrasi, sehingga banyak imigran maupun pengungsi yang kemudian menjadi penghuni tetap di sana. Terutama di Berlin, sebagai ibukota dan pusat kebudayaan di Jerman. Saking beragamnya etnisitas dan warganegara yang tinggal di sana, Raras sempat berkomentar bahwa Berlin itu seperti bukan bagian dari Jerman. Geser dikit keluar Berlin, pasti suasananya akan sangat berbeda. Bahkan, hidup di Berlin tanpa mengerti bahasa Jerman adalah hal yang sangat mungkin, karena semua orang sudah menggunakan bahasa Inggris dalam interaksi sehari-hari.
Banyaknya imigran dan pelajar mancanegara di Berlin dan benturan-benturan budaya yang disebabkannya mewujud sebagai gangguan-gangguan kecil dalam ban berjalan budaya Jerman yang berusaha mempertahankan konsistensinya. Masih di Perpustakaan Postdamer, ada dua sketsa lanjutan. Salah satunya bertutur jahil: “Perpustakaan = Kantor imigrasi. Butuh kartu untuk masuk.” Untuk mendaftar jadi anggota perpustakaan, butuh keterangan tempat tinggal tetap, yang sulit untuk dimiliki oleh para imigran yang belum mampu mempunyai rumah di tengah-tengah krisis perumahan Berlin.
Hal lainnya yang tak terhindarkan adalah tabrakan budaya Barat dengan Timur yang terjadi cukup intens. Alih-alih menyerap habis unsur-unsur budaya Timur ke dalam keseragaman ala Barat, iklim kebudayaan Barat saat ini memang sedang menoleh kembali ke Timur untuk mempelajari ulang cara-cara hidup yang lebih mampu menangani kepanikan mereka atas krisis lingkungan maupun ekonomi yang tengah mengancam. Namun, kacamata Barat yang sudah menempel sekian lama itu agaknya memang problematis.
Di antara sketsa-sketsa amatan maupun imajinasinya, Raras berhati-hati untuk tidak memasukkan dirinya sendiri ke dalam realita yang ia bangun. Ia tetap mempertahankan sudut pandang orang ketiga mahatahu-nya, menempatkan dirinya di luar kanvas yang menjadi refleksi dari hal-hal yang dia amati. Posisi ini, sebagai si pengamat tak berkepentingan, membuatnya leluasa untuk berpendapat dan mengkritik permasalahan-permasalahan aktual yang terjadi akibat tabrakan-tabrakan tersebut.
Dalam misuh-misuhnya selama ia di Berlin, beberapa hal yang ia persoalkan antara lain kurikulum dekolonialisasi di kampus yang kurang tepat sasaran, yang memunculkan orang-orang kulit putih yang merasa lebih tahu mengenai persoalan-persoalan di benua lain. Ia menggambarkan salah satu peristiwa tersebut dalam sketsanya, yang menangkap salah satu permasalahan dari kultur political correctness ini, yakni mudahnya terjadi penghakiman dari orang lain atas suatu hal yang tanpa diketahui dapat menyinggung kelompok tertentu. Ia juga mengkritik kemunculan orang-orang yang mengadopsi hal-hal seperti aktivisme atau kultur Timur demi tren yang ada, atau nilai eksotisme semata. Di tengah kekalutan yang disebabkan oleh benturan-benturan baru pun, masih ada keengganan bagi sebagian orang Jerman untuk menghadapi dan mengakui sejarah gelapnya sendiri, dan hal ini tak luput dari kritik Raras.
Karya-karya Raras menempatkan dirinya sebagai saksi dari tabrakan-tabrakan yang tengah terjadi di Berlin selama beberapa bulan terakhir. Ia menata ulang momen-momen dalam ruang dan waktu yang nyata ke dalam realita baru dengan aturan visual yang ditetapkannya sendiri, menciptakan berbagai spekulasi jenaka. Kegiatan membuat sketsa yang dilakukannya selama empat bulan ini memberikannya saluran yang memiliki potensi pemaknaan pengalaman, objek, dan orang-orang di sekitarnya dengan cara yang baru: sebuah pemaknaan subjektif, tanpa memberikan terlalu banyak fokus terhadap diri sendiri. Mungkin dirinya tidak hanya saksi, ia pun berada di tengah-tengah tabrakan itu. Namun, sebagaimana dalam garis-garis sketsanya, apa yang tertabrak tidak serta-merta menjadi hancur, ia bisa memunculkan bentuk-bentuk baru yang sublim.