12 Februari 2022, 1.22 AM

Sesuatu mendorongku untuk mulai kembali mengulik cat air. Lalu menggambar adegan dari performans Ambangan yang kulakukan bersama beberapa kawan dari 69 Performance Club pada Maret 2020 silam. Aku mengirimkan gambar tersebut ke mereka, dan kurasa hal itu membangkitkan perasaan-perasaan serupa dalam mereka, “sesuatu-sesuatu” yang mendorong munculnya “sesuatu-sesuatu” yang lain. Mungkin kami rindu berkarya. Atau kami rindu berkumpul dengan kawan-kawan. Sudah genap sebelas hari sejak aku kembali mendekam di rumah. Satu-satunya waktu aku keluar rumah adalah ketika ruangan-ruang penuh perabotan dalam rumah sudah terasa terlalu sempit untuk mondar-mandir berlatih sepatu roda, sehingga menghadapi jalan turunan yang berkerikil tajam pun rasanya lebih baik.

Mungkin sesuatu yang kurindukan itu adalah rutinitas dan intensitas, membuat satu hal hari ini dan hal yang sama di hari selanjutnya, dan selanjutnya, dan seterusnya. Sebagai seseorang yang terus menuliskan profesinya sebagai “penulis” agar dapat diterima open call, sudah dua bulan aku menggantung kibor. Ada banyak utang untuk menulis, tapi rasanya berat sekali untuk mulai mencoret-coret atau mengetik ide-ide secara serampangan. Ada satu tulisan yang sempat kukerjakan, tentang film yang tidak kusukai, namun aku merasa tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk momen-momen yang tepat, dan semakin lama mengerjakannya semakin benci pada diriku sendiri, jadi aku abaikan saja. Beberapa hari sekali, aku terpantik untuk menulis sesuatu, dan melanjutkan menulisnya dalam pikiranku. Namun ide itu berlalu begitu saja, tidak sempat menjadi nyata meskipun hanya sebaris dua baris. Aku tahu, kalau ada ide memang seharusnya dicatat. Ada banyak hal yang kuketahui, namun tidak kulakukan. Satu-satunya hal yang rutin kulakukan adalah yang tidak perlu kulakukan: menonton Big Bang Theory setiap hari. Sekarang aku sudah sampai season 10.

Satu hal lain yang rutin kulakukan adalah membuka Twitter. Dulu aku cukup rajin menulis cuitan hal-hal yang tidak penting maupun penting. Namun, terlalu sering cuitanku menjadi viral (maaf ini bukan sombong). Banyak yang kupikir penting bagiku, tapi saat sudah menjalar ke publik dan tiba-tiba dilihat orang banyak, rasanya tidak semua orang itu perlu tahu. Rasanya aku jadi orang yang sangat vokal dan reaktif terhadap banyak hal, mengatasnamakan diri sebagai anu, membela ini dan itu, mengatakan sesuatu yang sesuai dengan konsensus publik, dan pendapatku seperti dioper dari orang ke orang dan memenuhi media sosial begitu saja. Kadang aku merasa, bukan begitu maksudku. Lalu aku harus menambah twit baru di bawahnya, dan menambah lagi, dan lagi. Aku jadi disibukkan dengan meralat ucapan-ucapanku. Hal ini tidak akan terjadi jika aku menulis satu tulisan panjang, yang bisa kusunting hingga sepuluh ribu kali sebelum dibaca orang lain.

Jadi sekarang twitterku hanya kupakai untuk menulis hal-hal yang membuatku tertawa dan meritwit twit-twit yang kuanggap penting. Jika aku ingin berkomentar, aku menulis hal tersebut di kolom What’s Happening, namun menghentikan diriku dalam hati. Apakah ini akan membuatmu ribet jika mendapat reaksi dari orang lain? Apakah ini tetap penting dan menarik, tapi kamu mencuitnya hanya untuk mendapatkan reaksi instan untuk membuatmu merasa lebih baik selama setengah jam? Terkadang cuitan tersebut hanya bernasib masuk draft.

Mengapa impuls-impuls untuk mencuit mudah sekali muncul bagiku? Aku senang sekali bilang bahwa aku orangnya pemalu, tapi setelah mengenalku beberapa lama, tanpa sadar orang mengeluh karena aku tidak bisa berhenti bicara. Dalam birth chart-ku, matahari, merkurius, dan venus menempati rumah ketiga yang menandakan komunikasi, jadi mungkin itu alasannya. (tidak penting)

Pertanyaan selanjutnya: mengapa begitu mudah untuk mencuit daripada menulis yang panjang-panjang? Karena lebih singkat, ya jelas. Aku masih ingat saat Twitter awal-awal muncul dan mendeklarasikan dirinya sebagai platform microblogging. Istilah tersebut membingungkan, dan kegunaannya masih samar-samar bagi diriku yang sudah memiliki blog. Lama-lama, saat aku mulai mengikuti banyak orang, timeline-ku penuh berisi teman-temanku yang mencuit “good morning!” dan “just eaten” atau membagikan pin BB mereka. Muncul reward sosial yang menyenangkan dari menonton kegiatan teman-temanku tersebut. Dan aku setuju dengan twit yang pernah aku baca, aneh sekali bahwa Twitter punya usia yang cukup panjang sebagai media sosial, bahkan setelah munculnya Instagram, dan Facebook sudah mulai dianggap usang bagi beberapa kelompok demografi. Sekarang algoritma Twitter, seperti media sosial lainnya, sudah bisa membaca pola di setiap pengguna dan merekomendasikan konten-konten yang kemungkinan besar akan mendapatkan reaksi atau screen time lebih kepada setiap pengguna. Terasa jelas betapa mudahnya orang-orang jadi viral di Twitter sekarang. Dan twit yang sesuai akan mengundang kita untuk berkomentar, berpartisipasi dalam diskursus publik. Sejenis padang mahsyar di mana manusia berkumpul tidak saling mengenal, kecuali dalam situasi ini mereka tidak bisa berhenti berbicara satu sama lain, tidak peduli di mana letak merkurius dalam birth chart mereka. Tulisan bertemu publik dalam format yang lebih singkat dan menarik untuk dibaca, dan lekas mendapatkan reaksi pula.

Mungkin memang beginilah diskursus berjalan di masa kini. Semakin sedikit orang mengirim tulisan ke publikasi untuk saling berbantahan seperti Sutan Takdir Alishjabana dan Ki Hajar Dewantara dalam Polemik Kebudayaan, karena lebih mudah saling berbalas thread dalam ring tinju bernama Twitter, diiringi sorakan-sorakan yang terdengar secara langsung “nitip sendal gan” dan pedagang asongan “misi kak numpang jualan Netflix” hingga suporter via quote tweet dari kedua kubu. Tapi hal ini terjadi terlalu sering dan terlampau melelahkan untukku pribadi. Bahkan saat menulis ini, aku merasa telah memberikan diriku sebuah jeda untuk merangkai dan memaknai hal-hal yang selama ini telah meresahkanku dan pernah aku twit, namun aku lupa twitnya yang mana. Karena kejadiannya terlalu sering, ingatan menjadi terlampau pendek.

Di akhir 2021 lalu, aku mengikuti sebuah lokakarya penulisan se-Asia Tenggara yang cukup menyenangkan. Diskusi-diskusinya lumayan menyentil dan kepikiran sampai sekarang, bukan hanya presentasi-presentasi penuh formalitas. Namun, fokus utamanya sepertinya memang pada diskusi, saling berteman, dan saling menyentil. Lokakarya tersebut memberikan satu tugas menulis berkelompok dan satu tugas menulis individu, sebagai latihan santai. Saking santainya, sampai sekarang hanya empat orang yang mengumpulkan tugas individu, dan belum ada yang mengumpulkan tugas menulis berkelompok. Saat kami berkumpul kembali untuk sekadar ngobrol, salah satu partisipan yang mengumpulkan tugas menyinggung hal ini, separo ngakak dan mungkin juga agak kesal, dan kami yang belum mengumpulkan tugas tertawa terbahak-bahak. Aku sendiri sudah kepikiran ingin menulis apa, namun seperti yang sudah kukatakan di awal, aku belum bisa menulis apa-apa selama beberapa waktu. Si partisipan ini mengutip kata salah satu mentor kami yang sempat ngobrol dengannya: “Jangan khawatir, ini bukan hal terakhir yang akan kamu tulis.” Wow. Kalimat yang begitu enteng untuk dikatakan. Kita semua juga tahu. Memang, ada begitu banyak hal yang kita ketahui, tapi tidak kita lakukan.

Maka, aku sedang berusaha menipu diriku dengan menyebut kegiatanku sebagai macrotweeting. Ini berjalan dengan cukup baik. Sekarang pukul 3 pagi, aku ada les Bahasa Prancis lima setengah jam lagi, dan praktis aku melakukan ini karena sedang menghindari proyek menulis lain yang deadline-nya delapan hari lagi. Namun, setiap paragraf yang kutulis rasanya seperti habis berak setelah seminggu tidak berak.

Dalam rangka mewujudkan manipulasi diri ini menjadi sesuatu yang intens, aku berniat untuk mulai menerbitkan tulisan-tulisan keseharian yang ringan saja (pada titik ini, tulisan ini sudah mencapai 1114 kata, jadi ringan itu debatable). Namun, saat membolak-balik buku catatanku beberapa tahun yang lalu, aku menemukan beberapa tulisan yang hanya membicarakan detil-detil keseharian dan perasaanku. Aku lupa pernah menulis dan mengalami itu, maka penemuan ini jadi sesuatu yang menyenangkan. Melihat tanggalnya, catatan-catatan tersebut kubuat di penghujung 2019, setelah aku menemui psikolog kampus karena suatu guncangan yang terjadi di sekitar waktu tersebut. Aku masih ingat sarannya, agar aku mulai menulis diari pribadi tentang hal-hal yang ada di sekitarku, hal-hal yang kualami, tanpa harus banyak berpikir. Aku masih ingat bahwa hal itu memang membantu pada akhirnya. Sejak SD aku pun menulis diari, tapi semakin tidak konsisten saat memasuki perkuliahan, saat rutinitas mulai menjadi tak tertebak. Kebiasaan membawa buku catatan berlanjut hingga kini, namun itu hanya untuk mencoret-coret ide dan mencatat yang penting-penting saja agar tidak lupa.

Ini menimbulkan pertanyaan baru: menulis seperti apa yang kubutuhkan untuk mengembangkan diri? Apakah menulis untuk diri sendiri, atau pengawetan untuk beberapa lama tanpa ketergesaan untuk berjumpa dengan publik membuat tulisan tersebut menjadi lebih baik? Apakah tulisan yang murni pribadi dapat mendorong kita untuk menulis lebih jujur?Apakah lebih baik kita reject modernity, embrace tradition?

Entah ya. Kurasa selalu ada tarik-menarik antara keinginan untuk berbagi dan menyimpan jika kita sudah bersentuhan dengan internet. Dulu kita mengenal wanti-wanti “hati-hati dengan apa yang kamu unggah di internet, hal itu akan tersimpan di sana selamanya.” Tapi, kini rasanya terlalu banyak hal yang tersimpan di Internet. Ingatan semakin pendek, dan “selamanya” sudah terlampau sesak. Fenomena internet hanya meletup dengan keras sesaat, tak lama kemudian disusul dengan letupan-letupan baru, dan mungkin hanya akan disebut kembali setahun sekali sebagai memori yang amat jauh. Warganet pun sudah sadar dengan penyakit sumbu pendek dan memori yang tak kalah pendek, sehingga muncul berbagai praktik-praktik mengarsip: di antaranya, thread Menolak Lupa yang dulu suka dilakukan oleh Mediocrickey, lalu kini ada akun ARSIPAJA. Aku tidak selalu setuju dengan sudut pandang mereka, apalagi yang sekadar senang saat menonton keributan, tapi harus diakui ini memang gejala yang menarik.

Aku menulis ini dengan gambaran audiens yang kusapa di kepalaku: aku hanya bisa menghitung beberapa teman yang kelihatannya senang membaca tulisanku dan terkadang memberi komentar. Mungkin partisipasi publik itulah bentuk-bentuk dukungan moral yang kurasakan dalam perjalanan menulisku selama beberapa tahun terakhir. Perjalanan tanpa peta yang arahnya entah ke mana, yang progres maupun akumulasi nilainya tidak selalu linear. Ini hanya salah satu bentuk eksperimen yang bisa gagal. Namun akhir-akhir ini, kemungkinan akan adanya kegagalan menjadi sesuatu yang kian menenangkan bagiku, dengan harapan membuka jalan untuk “sesuatu-sesuatu” yang lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published.