perihal Bumi Manusia
Kemarin pagi, aku bersama ibuku dan adikku mendapatkan kesempatan menonton Bumi Manusia terlebih dahulu di sebuah acara yang diselenggarakan Keluarga Kemahasiswaan UGM. Ibuku—bukan alumni UGM—mendapat tiket dari temannya—bukan alumni UGM juga—yang memborong 20 tiket. Rombongan kami, berduapuluh orang om-om dan tante-tante yang ribut, seperti menyelinap ke dalam pensi sekolah lain.
Saat mendengar berita bahwa film Bumi Manusia akan disutradarai Hanung, dan Minke sang jagoan kita diperankan oleh personil Coboy Junior yang ceking itu, aku salah satu orang yang kemudian meratapi tercemarnya sastra sejarah bangsa kita. Celaka, Bung! Tapi, lama kelamaan, mau bagaimana lagi? Pada akhirnya, semua orang berhak membuat karya, tak peduli bagaimana bentuknya, biarpun ia tak berbentuk juga. Pelarangan terhadap karya-karya tertentu mengingatkanku pada suatu masa yang hanya pernah kudengar dari tutur orang-orang tua dan buku-buku sejarah, dan tentu saja tak ingin kucicipi.
Setelah membersihkan diri dari bias-bias tertentu dan membuka hati terhadapnya, film ini tidak seburuk yang diprediksikan netizen. Inilah impresi sekilas yang kudapatkan setelah menonton film itu sekali saja.
Secara material, tidak ada pengkhianatan terhadap buku aslinya, esensinya dapat ditangkap dengan jelas. Tarik ulur kebencian Minke terhadap feodalisme, kecintaannya terhadap modernisme, sampai pada kesadaran bahwa kedua sistem itu punya cacat masing-masing, bahkan keduanya tak jarang berselingkuh dan merugikan rakyat kecil. Sintesa dari kekalutan Minke ini adalah pengakuan diri sebagai orang bebas, yang tak diperintah maupun memerintah.
Nyai Ontosoroh, tokoh favoritku di bukunya, tetap menjadi favoritku di film ini. Penggambarannya baik sebagai anomali dari wanita Jawa pada masa itu. Sha Ine Febriyanti pun memerankannya dengan wibawa yang oke juga.
Secara substansi, film ini jelas dan memiliki kedalaman, namun kebanyakan dari pujian itu berhak diterima oleh materi aslinya, yang memberikan fondasi kokoh untuk film ini. Keberhasilan untuk mengadaptasi cerita menjadi mampu dimengerti adalah batas yang sangat rendah untuk menentukan kualitas sebuah film. Menonton film ini lumayan bikin pegel buatku (itulah mengapa aku cuma akan menuliskan impresi sekilas, bukan analisis mendalam yang harus dua kali nonton). Terlalu banyak shot yang sudah pernah kulihat sebelumnya. Terlalu banyak close-up. Setiap adegan selalu diiringi oleh lagu-lagu orkestraik yang menandakan ketegangan, kesedihan, kemewahan, dan emosi-emosi lainnya. Penonton tak diberikan ruang untuk bernafas, gambar tak diberikan kesempatan untuk memancarkan emosinya sendiri.
Terakhir: poni lempar Iqbal jelek banget, lebih-lebih tidak cocok untuk berada di zaman itu. Kenapa sih rambutnya gak bisa normal aja? Aku yakin banget tampang Iqbal akan lebih mending jika rambutnya klimis-klimis kolonial seperti tokoh-tokoh lainnya dalam film. Apakah justru ini sengaja, agar ada kesan Dilan pada diri Iqbal yang bisa diboncengi? Naik-naik meja untuk nonjok orang itu Dilan banget, lagi. Iqbal juga gak cocok akting nangis melankolis. Miscast tak hanya terjadi pada Iqbal, namun ada dua tokoh yang seharusnya berdarah Indo-Belanda tapi kelihatan banget mereka Indo biasa, bahkan salah satunya ada yang dipakein soft lens biru. Hadehlah.
Perihal Komunitas
Ngomongin komunitas sampai eneg. Apa yang akan kulakukan dalam dua minggu ke depan, sudah mulai kulakukan sejak hari ini. Aku bertemu dengan teman-teman yang takkan kukenal jika aku tak bergabung dalam sebuah komunitas film, dan bernaung dalam payung besar “komunitas-komunitas film”. Sebenarnya sudah dari tahun lalu aku ngomongin komunitas di sebuah panel festival. Aku kaget karena sama sekali tidak merasa punya kapabilitas untuk membicarakan hal itu. Aku merasa jadi anak bawang di mana-mana. Tapi, ya sudah, aku lakukan juga.
Tahun lalu, aku berbicara tentang komunitas film mahasiswa sebagai sarana pencarian identitas. Mahasiswa yang tidak tahu hidupnya harus diapakan biasanya bergabung dengan komunitas film. Jika tidak cocok dengan komunitas kampus itu, mereka akan pergi. Mahasiswa yang sudah tahu ingin jadi pembuat film, tapi mencari teman yang sama-sama suka film, juga akan bergabung dengan komunitas film. Pergulatan tentang diri mereka biasanya dituangkan ke dalam film yang mereka buat. Terkadang, mereka melakukan itu agar bisa kabur dari pelajaran dan ekspektasi orang tua. Kadang, mereka melakukan itu sebagai bagian dari “panggilan hidup” mereka, yang sewaktu-waktu pun dapat berubah jika kamu masih kuliah. Paling tidak, itu yang kutangkap selama beberapa tahun terakhir.
Identitas begitu cair di masa-masa perkuliahan. Pada saat yang sama, kami berada di bawah payung besar “komunitas-komunitas film” itu, memikul sejumlah tanggung jawab untuk menjadi roda-roda produksi-apresiasi di jalur alternatif perfilman Indonesia. Ada diskrepansi antara posisi komunitas di ranah eksternal, dan ranah internal di dalam kampus, saat ia berebut kepentingan dengan organisasi-organisasi lainnya, kepanitiaan lain, urusan akademis, dan sewaktu-waktu dapat ditinggalkan secara tidak bertanggung jawab oleh para anggotanya. Kurang lebih itu inti curhat colongan akademis yang kulakukan tahun lalu.
Saat aku sedang curhat mengenai film festival yang sedang aku selenggarakan, dan rasa beban yang sering kali muncul entah dari mana, temanku berkomentar, kalau kegiatan film di ranah mahasiswa itu sebagai sarana belajar. Terkadang, film mahasiswa atau festival film mahasiswa itu, ya udah. Ya udah. Begitu keruh, begitu malas, entah artinya apa. Namun, entah bagaimana, aku bisa memahaminya.
Tahun ini, aku belum bikin paper sama sekali. Toloooong! Tolongsinema!
Perihal yang permanen
Dari sekian banyak kegiatan yang dapat dilakukan di malam minggu itu, kami memilih nonton film di sebuah festival. Terlalu gampang ditebak memang. Seusai menonton satu film panjang dan tiga film pendek, kami keluar auditorium karena lapar. Tak peduli setelah ini masih ada sesi selanjutnya. Temanku sudah memprotes ingin keluar, karena kacamatanya patah dan ia pusing karena nontonnya sambil miring-miring.
Trotoar depan Taman Ismail Marzuki sedang dipugar, sama seperti trotoar lainnya sepanjang Jalan Cikini Raya. Anak-anak IKJ kehilangan tempat nongkrong di malam hari. Kami juga kebingungan mencari makan, lebih-lebih aku, yang ingin makan nasi magelangan, tapi lupa gerobak nasi goreng mana yang paling enak di antara lima gerobak yang mangkal malam itu. Selamat tinggal untuk sementara, batmer (singkatan malas dari bata merah), tempat yang juga penuh sejarah bagiku. Penuh sejarah. Apakah suatu tempat bisa luber menampung terlalu banyak sejarah? Sebaliknya: apakah sejarah bisa terlalu penuh karena banyak peristiwa di dalamnya? Kadang aku merasa terlalu penuh, namun begitu kosong.
Paling tidak, selamat tinggal itu untuk sementara. Batmer akan kembali lagi, meskipun tidak akan sama. Mungkin pedagang-pedagangnya berpindah tempat. Ada temanku yang protes keras mengenai hal ini. Namun, pada akhirnya kita menyesuaikan diri, menyadari bahwa pada akhirnya, ini bukanlah akhir dari segalanya.
Apakah ada yang permanen di dunia ini? Nyawa yang hilang itu permanen. Kehilangan itu akan menggores sesuatu dalam sejarah—baik yang tercatat, maupun sejarah-sejarah kecil yang hanya akan hidup dalam hati-hati kecil semua orang yang pernah memiliki si almarhum. Namun, dengan segala ketergoresannya, sejarah akan tetap berlangsung.
Tato juga permanen. Banyak orang berusaha menyatakan pernyataan yang agung dengan menatahkan gambar atau kata tertentu ke kulit mereka, untuk selamanya. Sebuah gestur simbolik, yang sebenarnya tak banyak mengubah apa-apa, kecuali kulit mereka. Jika suatu hari aku ingin membuat tato, aku akan membuatnya tanpa pertimbangan panjang. Pertimbanganku murni estetik, sesuatu yang akan tampak bagus di kulitku. Bukan pernyataan agung yang layak diperjuangkan. Jika memang aku tak bisa atau tak mampu membuatnya pun tak apa-apa. Namun, bagi beberapa orang, perihal pembuatan tato adalah pilihan eksistensial. Dengan memilihnya, seseorang telah menandatangani pakta kekal. Berkomitmen: hal yang paling tak mungkin dilakukan, di tengah deras arus sejarah yang tak henti mengalir.
Namun, pada akhirnya, ikatan akan terjalin, entah disengaja atau tidak. Mustahil menjalani hidup seperti maraton tanpa henti. Aku tahu, hidup berjalan terus, dan manusia datang dan pergi. Mau tidak mau, kita harus menyesuaikan diri dengan perubahan tanpa henti itu. Namun, tak jarang kita berpura-pura bahwa kita akan hidup kekal: semua kesempatan adalah satu-satunya, semua perhentian adalah perhentian terakhir. Dualitas ini janggal, dan kusadari betul. Kita butuh ilusi keabadian itu agar kita bisa berhenti dan terpenuhi, mengabaikan fakta bahwa suatu hari kita akan terkuras lagi sampai ke dasar, dan kita harus mencari tempat baru untuk memenuhi diri kita sendiri.
Sambil duduk dan makan di pinggiran batmer yang semakin terkikis, seorang teman berkata bahwa ada perasaan yang bisa timbul saat bertemu dengan seseorang. Perasaan yang menyenangkan. Namun, apakah kita menyukai perasaan itu, atau orang yang menimbulkan perasaan itu? Apakah kita akan menemukan perasaan yang sama pada orang-orang lain? Apakah kita harus mengambil lompatan iman tersebut?
Hari itu, aku mengambil lompatan iman tersebut. Nasi goreng yang kusantap bukanlah buatan gerobak yang enak itu. Rasanya terlalu asin.
Tapi, ya, tidak apa-apa.
Mungkin, aku akan membuat tato itu juga. Kalau ada duit.