“Dini pulang kapan?” tanya Bapak, beberapa hari yang lalu.
“Ini lagi pulang.”
“Berhenti ngekos gitu, kapan?”
“Oktober.”
Semester depan, setelah festival film yang kuadakan bersama teman-teman yang lain selesai, aku akan berhenti ngekos dan kembali pindah ke rumah. Sekilas, bukan lompatan iman yang terlalu jauh. Rumahku di Jakarta Pusat, sebenarnya masih memungkinkan kalau pulang-pergi ke Depok setiap harinya. Setiap akhir pekan pun aku pulang. Selama libur ini pun aku terus berada di rumah. Mungkin takkan banyak bedanya.
Rumah punya dinamikanya sendiri, dengan atmosfer yang tak bisa kita kontrol seorang diri. Sewaktu-waktu, ia bisa jadi tempat berpulang yang menyenangkan. Kita kehilangan diri di obrolan meja makan berjam-jam, sebelum kesadaran menyergap: kapan terakhir kalinya kita merasakan kehangatan ini? Hampa pun bisa menjadi menyenangkan, melewatkan berjam-jam melamun tanpa melakukan apa-apa, tak terkejar waktu seperti di kamar kos tempatku begadang mengerjakan artikel. Hidup dengan orang lain selalu memisalkan batas-batas demarkasi yang tak dapat ditawar. Aku telah terbiasa berdampingan dengan batas tersebut, seperti dengan teman sekamarku di kost. Namun, di rumah, batas-batas tersebut cenderung dilangkahi oleh yang berwenang.
Memikirkan perpindahan, pikiranku terarah pula pada satu kardus besar berisi buku yang tersimpan di sudut kostku. Koleksi bukuku di Depok semakin berkembang, banyak pula buku yang harus kubeli demi keperluan kuliah. Kardus itu menjadi jangkar yang mencegahku terombang-ambing di lautan dialektis perkuliahan. Jangkar yang sama jadi memberatkan saat harus pindah kost. Terhitung dua kali aku berpindah kost selama tiga tahun belakangan, dan membayangkan kardus itu saja lenganku sudah memijat dirinya sendiri. Aku tak kuat membayangkan harus membopong kardus itu sekali lagi, apalagi menginkorporasikan buku-buku di dalamnya ke dalam kamar tidur aku dan adikku yang sudah penuh barang-barang.
Sudah tentu ada barang-barang yang harus disisihkan, entah yang akan dipindahkan dari Depok, maupun barang-barang yang sudah berada di rumah. Sulit sekali membayangkan proses pembersihan besar-besaran ini. Sering kali kupikir aku ini orangnya minimalis, karena apa yang ada di depanku hanyalah barang-barang yang kubutuhkan. Kenyataannya, aku hanya meyakini oposisi biner dalam sistem inventoriku: barang yang kubutuhkan dan barang yang tidak butuh-butuh amat, tapi suatu saat pasti akan butuh. Kategori kedua memayungi tumpukan yang terus menggunung. Terkadang, kuharap ada hampa yang bisa menelan barang-barang tersebut agar aku tak perlu melihatnya berantakan di depanku, seperti void milik Janet dalam serial The Good Place.
Terkadang, kuharap aku tak usah berurusan dengan yang materi, dan bagaimana ia menempati ruang dan waktu. Perubahan tak henti mengusik yang material: menggandakan diri, membusuk, mengumpulkan debu. Sementara, manusia harus menyesuaikan diri dengan yang tak terhindarkan.